Wednesday, August 19, 2009

Pembelajaran Pada Usia Dewasa



PEMBELAJARAN PADA USIA DEWASA


BAB I. PENDAHULUAN

Pembelajaran orang dewasa merupakan pengalaman belajar berdasarkan kebutuhan dan minat orang dewasa pada tingkatan kemampuan dan pengetahuan yang berbeda untuk mendukung perubahan peranan serta tanggung jawab dalam kehidupan orang dewasa. Proses belajar mengajar pada orang dewasa merupakan sebuah proses transfer knowledge atau skill yang sifatnya kedua belah pihak, antara pendidik dan peserta didik, serta antara peserta didik dan peserta didik. Beberapa hal yang harus diperhatikan dari sisi peserta didik adalah tahap belajar, gaya belajar, suasana belajar, jenis belajar dan faktor lainnya yang mempengaruhi belajar. Dari sisi pendidiknya adalah sikap mereka terhadap peserta didiknya, metode yang diterapkan dan bagaimana membangun suasana kondusif bagi proses pembelajaran.

Pendidikan orang dewasa mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan oleh orang dewasa baik pria maupun wanita, sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya masing-masing. Dengan demikian hal tersebut dapat berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran orang dewasa yang tampak dengan adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai.

Orang dewasa dalam belajar jauh berbeda dengan anak-anak. Menurut Knowles (1979), perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam belajar didasarkan pada empat asumsi tentang orang dewasa. Asumsi-asumsi tersebut ialah: (1) orang dewasa mempunyai pengalaman yang berbeda dengan anak-anak, (2) orang dewasa mempunyai konsep diri, (3) orang dewasa mempunyai orientasi belajar yang berbeda dengan anak-anak, dan (4) orang dewasa mempunyai kesiapan untuk belajar.

Tentang kriteria usia dewasa, pada umumnya psikolog menetapkan sekitar usia 20 tahun sebagai awal masa dewasa dan berlangsung sampai sekitar usia 40-45 tahun, dan pertengahan masa dewasa berlangsung dari sekitar usia 40-45 tahun sampai usia 65 tahun, serta masa dewasa lanjut atau masa tua berlangsung dari sekitar usia 65 tahun sampai meninggal (Fieldman, 1996). Meskipun memiliki kematangan dalam berbagai hal, setiap peserta didik usia dewasa belum tentu bisa berhasil dalam belajar. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.



Foto-foto
David Beckham

Foto-foto
Natalie Portman

Foto-foto
Channing Tatum


BAB II. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PESERTA DIDIK
USIA DEWASA DALAM BELAJAR

A. Faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik usia dewasa dalam belajar

1. Faktor Internal
Faktor-faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu peserta didik yang dapat mempengaruhi belajar orang dewasa, antara lain:
a. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor ini dibedakan menjadi dua macam yakni: pertama tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang, terutama peserta didik usia lanjut. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Tidak dipungkiri, semakin tua usia seseorang semakin menurun kondisi jasmaninya. Kekurangan gizi juga dapat mempengaruhi keadaan jasmani, mudah mengantuk, lekas lelah, lesu dan sebagainya. Daya tahan yang menurun dapat memperbesar kemungkinan penyakit seperti influenza, batuk, dll. Secara keseluruhan, badan kurang sehat sudah cukup mengganggu aktivitas belajar, apalagi bila sampai jatuh sakit, boleh dikata aktivitas ini berhenti. Kedua, fungsi fisiologis/jasmani. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfungsi sangat baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar, panca indra merupakan pintu masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia, sehingga manusia dapat mengenal dunia luar. Proses belajar manusia berlangsung hingga akhir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara perubahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan.

Menurut Vemer dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:
1. Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai bergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh tahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.
2. Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan penggunaan bahan dan alat pendidikan.
3. Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.
4. Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna lembut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras untuk alat-alat peraga.
5. Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11 persen dan orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dan orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.
6. Pembedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan bunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.

b. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis sesorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Belajar lebih banyak berhubungan dengan aktivitas jiwa, dengan kata lain faktor-faktor psikis memang memiliki peran yang sangat menentukan dalam belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan peserta didik, motivasi, minat, sikap, dan bakat.
1. Kecerdasan/inteligensia
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh yang lain. Namun, otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ lain, karena fungsi otak adalah sebagai pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia. Semakin tinggi tingkat intelegensi seseorang, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat inteligensia individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar.

2. Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektivan kegiatan belajar peserta didik. Motivasi mendorong mereka ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Dari sudut sumbernya, motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Contohnya, seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca karena membaca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah menjadi kebutuhannya. Motivasi ekstrinsik adalah semua faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orang tua, dan lain sebagainya, kurangnya respon dari lingkungan secara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.

3. Minat
Secara sederhana minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, minat memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar. Karena jika seseorang tidak memiliki minat untuk belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Untuk membangkitkan minat belajar peserta didik ada banyak cara yang bisa digunakan. Salah satunya adalah dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan.

4. Sikap
Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk memberi reaksi atau memberi respon dengan cara yang relatif tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003). Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performa guru, pelajaran atau lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, guru berperan dan berusaha untuk menyajikan pelajaran yang diampunya dengan baik dan menarik sehingga membuat peserta didik dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan; meyakinkan peserta didik bahwa bidang studi yang dipelajari bermanfaat bagi diri mereka.

5. Bakat
Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seseorang untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang yang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.


2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu dan dapat mempengaruhi belajar individu, antara lain:
a. Faktor Lingkungan Sosial
1. Lingkungan sosial sekolah (guru, administrasi, teman-teman sekelas)
Tidak hanya peserta didik anak-anak dan remaja saja yang dapat terpengaruh oleh lingkungan sosial sekolah/tempat belajar, namun peserta didik dewasa pun tak sedikit yang sangat mempertimbangkan faktor ini. Misalnya, apabila ada guru atau tenaga pengajar yang bertemperamen keras, terlalu tegas, dan sering mempersulit peserta didiknya maka dapat menyebabkan peserta didik dewasa jengah dan tidak nyaman dengan kondisi belajar sedemikian. Sifat belajar bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dan benar atau salahnya, segala pendapat perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud.

Selain itu, faktor tenaga administrasi sekolah juga mempengaruhi belajar orang dewasa. Tenaga administrasi yang sering mempersulit dan tidak kooperatif dengan peserta didik akan menyebabkan mereka malas mengurus administrasi pendidikan sehingga menyebabkan aktivitas belajar mereka terganggu. Demikian pula faktor teman-teman belajar (sekelas) yang tidak menyenangkan, meskipun pengaruhnya tidak sebesar pengaruh yang dialami peserta didik anak-anak dan remaja, dapat menyebabkan orang dewasa tidak betah dan memilih pindah ke sekolah atau institusi belajar lainnya dimana mereka dapat menemukan teman-teman belajar yang menyenangkan.
2. Lingkungan sosial masyarakat (tempat tinggal siswa)
Faktor ini dapat berpengaruh manakala orang dewasa berada dalam lingkungan masyarakat tempat tinggal yang kurang mendukung aktivitas belajarnya. Beberapa kondisi yang mungkin mempengaruhi misalnya aktivitas yang padat seperti kegiatan kampung yang menyita waktu, adanya konflik dengan tetangga di sekitar kediaman, dsb.
3. Lingkungan sosial keluarga (ketegangan di dalam keluarga, sifat-sifat orang tua, pengelolaan keluarga).
Permasalahan yang terjadi didalam keluarga orang dewasa sangat berpengaruh terhadap aktivitas belajar. Orang dewasa yang sedang dirundung masalah dengan pasangannya, orang tuanya, mertuanya atau anak-anaknya akan mengalami gangguan psikis sehingga mengganggu konsentrasi mereka dalam belajar. Jika ada anggota keluarga yang tidak menyetujui rencana belajar orang dewasa tentu saja sangat menghambat belajar. Anak-anak yang masih memerlukan perhatian ekstra juga dapat menyita waktu belajar dan mengakibatkan keterlambatan atau tidak terselesaikannya tugas-tugas yang diberikan di institusi belajar.

b. Faktor Lingkungan Non-Sosial
1. Faktor lingkungan alamiah
Faktor ini meliputi keadaan alam yang tidak bisa ditolak dan dihindari oleh peserta didik. Kondisi yang mendukung belajar kebanyakan peserta didik antara lain kondisi udara yang segar, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, sinar yang tidak terlalu silau atau bahkan tidak terlalu gelap, cuaca yang cerah (tidak hujan), dsb.

2. Faktor instrumental
Yang termasuk faktor instrumental adalah perangkat belajar yaitu:
a. Gedung sekolah (tempat belajar)
Orang dewasa memerlukan tempat belajar yang baik, nyaman dan aman. Jika dibandingkan dengan peserta didik anak-anak dan remaja, orang dewasa lebih kritis dalam menilai kondisi gedung atau tempat belajar mereka. Hal ini biasanya mereka kaitkan dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk pendidikan dan hak mereka mendapatkan tempat belajar yang baik yang sepantasnya mereka terima.

b. Alat-alat belajar
Ini meliputi ketersediaan dan kelengkapan alat belajar seperti buku dan instrumen pembelajaran yang diusahakan oleh masing-masing peserta didik maupun disediakan sekolah/guru.

c. Kurikulum
Kurikulum pendidikan orang dewasa hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas tiap individu.

d. Peraturan institusi/sekolah
Peraturan sekolah hendaknya bersifat fleksibel, tidak terlalu mengekang apalagi memberi hukuman yang keras. Peraturan yang ketat tentu saja akan membuat peserta didik tidak nyaman, terintimidasi, dan menurunkan minat mereka untuk belajar di suatu institusi belajar atau sekolah.

e. Metode belajar
Salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai metode atau konsep pendidikan untuk orang dewasa. Tidak selamanya kita berbicara dan mengulas di seputar pendidikan murid sekolah yang relatif berusia muda. Kenyataan di lapangan, hahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya. Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa yang notabene tidak menduduki bangku sekolah. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri. Kematangan psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak senang. Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong bagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaiminya, apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya (Lunandi, 1987).

Pemahaman terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para pendidik atau fasilitator dalam menghadapi orang dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa sebagai siswa.

3. Faktor materi pelajaran
Materi atau bahan yang akan diajarkan hendaknya sesuai dengan usia, kebutuhan, metode, dan kondisi peserta didik. Pengorganisasian bahan belajar sedemikian rupa, memudahkan peserta didik dalam mempelajarinya. Pengorganisasian bahan belajar dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pembelajaran. Setiap bahan belajar yang ingin disampaikan harus dilihat dari ketertarikan peserta didik terhadap materi yang disampaikan, kesesuaian materi dengan kebutuhan peserta didik, dan kesamaan tingkat dan lingkup pengalaman antara pendidik dan peserta didik. Bahan belajar berisi pengetahuan, keterampilan dan atau nilai-nilai yang disampaikan yang akan dipelajari oleh peserta didik dalam mencapai tujuan belajar. Materi harus dipilih atas pertimbangan sejauh mana peranannya dalam menciptakan situasi untuk penyesuaian perilaku peserta didik dalam mencapai tujuan belajar yang ditetapkan. Materi itu pun akan mempengaruhi pertimbangan pendidik dalam memilih dan menetapkan teknik pembelajaran.


B. Kesulitan Belajar pada Orang Tua

Secara umum aktivitas belajar peserta didik usia dewasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas. Namun demikian, ada baiknya jika kita mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami orang tua dalam belajar. Hal ini penting untuk diketahui terutama bagi pendidik yang mengajar peserta didik dewasa tua atau lanjut usia, bahwa mendidik orang tua sebenarnya tidak semudah yang dibayangkan dibanding mendidik anak-anak. Berikut ini kesulitan belajar pada orang tua yang dikemukakan oleh Ivor K. Davies dalam buku Pengelolaan Belajar, yaitu:

1. Problema Motivasional
Ada mitos yang menyebutkan bahwa orang tua lebih sulit diajar, kurang dapat menyesuaikan diri pada perubahan, dan terlalu tua untuk belajar. Asumsi ini telah membuat ramalan pada pihak orang-orang berusia tua yang dipenuhi sendiri. Ini berarti orang berusia tua condong bertingkah laku seperti yang diharapkan orang pada mereka. Gejala inilah yang merupakan salah satu sebab dari problema motivasional yang dialami orang tua, dan menyebabkan pemborosan (pembuangan dengan percuma) bakat-bakat dan pengalaman.

2. Problema Menghilangkan Apa yang Sudah Dipelajari Semula
Banyak orang berusia lanjut mengalami kesulitan besar dalam membuang kebiasaan lama. Mereka cenderung membuat kesalahan yang sama yang berulang-ulang (Kay, 1951). Demikian pula semakin banyak yang mereka tahu, dan semakin berpengalaman mereka, maka makin besar kesulitan bagi mereka untuk menghilangkan kebiasaan atau pengetahuan tersebut, walaupun pengetahuan itu sudah usang bagi situasi atau pekerjaan yang baru. Entwisle (1959) menunjukkan bagaimana dalam suatu pabrik pembuatan bir terjadi pengalihan dari mesin yang dijalankan kuda ke mesin yang dijalankan motor. Buruh yang berumur lebih dari 40 tahun mengalami kesulitan dalam mempelajari ketrampilan dengan motor daripada mereka yang berusia kurang dari 40 tahun.

3. Problema Lupa
Kecenderungan orang menganggap bahwa orang tua lebih cepat lupa ternyata merupakan suatu anggapan yang lemah. Penelitian Bromley (1958) menemukan bahwa dari tiga kelompok yang dibandingkan yang terdiri dari kelompok usia 17 sampai 76 tahun, usia tidak memberi perbedaan dalam skor dari suatu tes yang menguji ingatan jangka pendek. Tetapi Beblin (1968) dalam suatu pemeriksaan tentang penelitian mengenai cara mengajar orang tua, mengemukakan bahwa ada bukti kuat yang menunjang pernyataan tersebut. Dalam kondisi yang ideal memang tidak ada perbedaan dalam mengingat antara orang muda dan orang tua. Tetapi jika ada gangguan dan interferensi dari hal-hal yang tidak ada hubunganya dengan apa yang harus diingat, maka ada terlihat perbedaan tersebut, khususnya dalam ingatan jangka pendek.

4. Ketahanan Terhadap Perubahan dan Inovasi
Orang tua ternyata sulit menerima pendapat, metode, konsep, dan prinsip baru. Seolah-olah mereka dihalangi oleh pengetahuan dan keyakinan mereka. Oleh karena itu mereka tampak kaku dan tak mau menerima. Sebagian besar sikap ini berasal dari perasaan tidak aman serta kesulitan dalam hubungannya dengan orang yang lebih muda. Dengan demikian mereka mengambil sikap otokratik sebagai mekanisme pertahanan (defence mechanism).

5. Problema Penyesuaian Diri
Menurut Newsham (1969), jika seorang yang berusia lebih tua dilatih dan dilatih kembali, dan berhasil, maka masih ada suatu periode penyesuaian diri dalam situasi dan lingkungan kerja yang baru. Periode tersebut merupakan periode kritis dan terjadi segera sesudah terjadi belajar, ataupun seminggu atau lebih sesudahnya. Pada waktu inilah terjadi problema penyesuaian diri yang gawat, sehingga lebih banyak yang meninggalkan situasi dan lingkungan baru dari koleganya yang lebih muda.


BAB III. KESIMPULAN

Pembelajaran peserta didik usia dewasa merupakan pengalaman belajar berdasarkan kebutuhan dan minat orang dewasa pada tingkatan kemampuan dan pengetahuan yang berbeda untuk mendukung perubahan peranan serta tanggung jawab dalam kehidupan orang dewasa. Peserta didik usia dewasa dalam belajar jauh berbeda dengan anak-anak. Perbedaan itu didasarkan atas empat asumsi yaitu pengalaman, konsep diri, orientasi belajar, dan kesiapan belajar.

Keberhasilan peserta didik usia dewasa dalam belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertama, faktor internal yang meliputi faktor fisiologis (yang berhubungan dengan kondisi fisik individu) dan faktor psikologis (yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan individu). Kedua, faktor eksternal yang meliputi faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non-sosial.

Pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik usia dewasa dalam belajar serta kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi ini penting untuk diketahui oleh pendidik maupun peserta didik agar aktivitas belajar dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan belajar yang ingin dicapai.



Foto-foto
Ashton Kutcher


DAFTAR PUSTAKA

Davies, Ivor K.. 1991. Pengelolaan Belajar (Terjemahan Sudarsono S, dkk). Jakarta: CV. Rajawali dan PAU-UT.
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mustakim. 2001. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
http://elearn.bpplsp-reg5.go.id/cetak.php?id=14
http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2006/bulan/10/tanggal/10/id/184/






Karakteristik anak usia SMP / Remaja



KARAKTERISTIK ANAK USIA SMP / REMAJA


BAB I. PENDAHULUAN

Bagi sebagian besar individu yang baru beranjak dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua, para anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.


BAB II. PEMBAHASAN

Dalam kehidupan anak terdapat dua proses yang terjadi secara kontinue, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini berlangsung secara interdependent, saling bergantung satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan (tidak bisa berdiri sendiri), akan tetapi dapat dibedakan (Kartono, K., 1979).
Pertumbuhan dimaksudkan untuk menunjukkan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Perubahan ukuran akibat bertambah banyaknya atau bertambah besarnya sel (Edwina, 2004) Misalnya : bertambahnya tinggi badan, bertambahnya berat badan, otot-otot tubuh bertambah pesat (kekar).
Perkembangan menunjukkan suatu proses tertentu yaitu proses yang menuju kedepan dan tidak dapat diulang kembali. Dalam perkembangan manusia terjadi perubahan-perubahan yang sedikit banyak bersifat tetap dan tidak dapat diulangi. Perkembangan menunjukkan pada perubahan-perubahan dalam suatu arah yang bersifat tetap dan maju (Ahmadi, A., 1991).
Dalam makalah ini, kami hanya akan membahas mengenai tumbuh dan kembang masa remaja khususnya anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu antara usia 12–15 tahun.


A. Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa. Menurut Anna Freud (dalam Yusuf. S, 2004) masa remaja juga dikenal dengan masa strom and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang bervariasi. Pada masa ini remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan dan sebagai akibatnya akan muncul kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya konflik dan pertentangan, impian dan khayalan, pacaran dan percintaan, keterasinagan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan (Gunarsa, 1986).

Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas/jati diri. Individu ingin mendapat pengakuan tentang apa yang dapat ia hasilkan bagi orang lain. Apabila individu berhasil dalam masa ini maka akan diperoleh suatu kondisi yang disebut identity reputation (memperoleh identitas). Apabila mengalami kegagalan, akan mengalami Identity Diffusion (kekaburan identitas). Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya.

Fase-fase masa remaja (pubertas) menurut Monks dkk (2004) yaitu antara umur 12 – 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir.


B. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Remaja Usia SMP

1. Pertumbuhan fisik
Pada masa remaja, pertumbuhan fisik mengalami perubahan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa. Pada fase ini remaja memerlukan asupan gizi yang lebih, agar pertumbuhan bisa berjalan secara optimal. Perkembangan fisik remaja jelas terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, serta otot-otot tubuh berkembang pesat.

2. Perkembangan seksual
Terdapat perbedaan tanda-tanda dalam perkembangan seksual pada remaja. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya alat reproduksi spermanya mulai berproduksi, ia mengalami masa mimpi yang pertama, yang tanpa sadar mengeluarkan sperma. Sedangkan pada anak perempuan, bila rahimnya sudah bisa dibuahi karena ia sudah mendapatkan menstruasi yang pertama.

Terdapat ciri lain pada anak laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki pada lehernya menonjol buah jakun yang bisa membuat nada suaranya pecah; didaerah wajah, ketiak, dan di sekitar kemaluannya mulai tumbuh bulu-bulu atau rambut; kulit menjadi lebih kasar, tidak jernih, warnanya pucat dan pori-porinya meluas. Pada anak perempuan, diwajahnya mulai tumbuh jerawat, hal ini dikarenakan produksi hormon dalam tubuhnya meningkat. Pinggul membesar bertambah lebar dan bulat akibat dari membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya lemak bawah kulit. Payudara membesar dan rambut tumbuh di daerah ketiak dan sekitar kemaluan. Suara menjadi lebih penuh dan merdu.

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri ataupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.

Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

3. Cara berfikir kausalitas
Hal ini menyangkut tentang hubungan sebab akibat. Remaja sudah mulai berfikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil. Mereka tidak akan terima jika dilarang melakukan sesuatu oleh orang yang lebih tua tanpa diberikan penjelasan yang logis. Misalnya, remaja makan didepan pintu, kemudian orang tua melarangnya sambil berkata “pantang”. Sebagai remaja mereka akan menanyakan mengapa hal itu tidak boleh dilakukan dan jika orang tua tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan maka dia akan tetap melakukannya. Apabila guru/pendidik dan oarang tua tidak memahami cara berfikir remaja, akibatnya akan menimbulkan kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.

Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.

Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

4. Emosi yang meluap-meluap
Emosi pada remaja masih labil, karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Mereka belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Dalam satu waktu mereka akan kelihatan sangat senang sekali tetapi mereka tiba-tiba langsung bisa menjadi sedih atau marah. Contohnya pada remaja yang baru putus cinta atau remaja yang tersinggung perasaannya. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis. Saat melakukan sesuatu mereka hanya menuruti ego dalam diri tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi.

5. Perkembangan Sosial
Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.
Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.

Ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka amatlah penting bagi remaja untuk dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan hal tersebut dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (sosial skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Ketrampilan-ketrampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri & orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal. Jadi tidak mengherankan jika pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari ingkungannya dan berusaha mendapatkan status atau peranan, misalnya mengikuti kegiatan remaja dikampung dan dia diberi peranan dimana dia bisa menjalankan peranan itu dengan baik. Sebaliknya jika remaja tidak diberi peranan, dia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian lingkungan sekitar dan biasanya cenderung ke arah perilaku negatif.

Salah satu pola hubungan sosial remaja diwujudkan dengan membentuk satu kelompok. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tua dinomorduakan, sedangkan kelompoknya dinomorsatukan. Contohnya, apabila seorang remaja dihadapkan pada suatu pilihan untuk mengikuti acara keluarga dan berkumpul dengan teman-teman, maka dia akan lebih memilih untuk pergi dengan teman-teman.

Pola hubungan sosial remaja lain adalah dimulainya rasa tertarik pada lawan jenisnya dan mulai mengenal istilah pacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti dan melarangnya maka akan menimbulkan masalah sehingga remaja cenderung akan bersikap tertutup pada orang tua mereka. Anak perempuan secara biologis dan karakter lebih cepat matang daripada anak laki-laki.

6. Perkembangan Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.

Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

7. Perkembangan Kepribadian
Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu mengambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Disinilah pentingnya orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.


KESIMPULAN

Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa.

Fase-fase masa remaja (pubertas) menurut Monks dkk (2004) yaitu antara umur 12 – 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir.

Karakteristik anak remaja bisa dilihat dalam beberapa aspek, yaitu dari Pertumbuhan fisik, perkembangan seksual, cara berfikir kausalitas, emosi yang meluap-luap, perkembangan sosial, perkembangan moral dan perkembangan kepribadian.

Remaja diharapkan lebih mengerti dirinya sendiri dan dimengerti orang lain, sehingga dapat menjalani persiapan masa dewasa dengan lancar. Dengan memanfaatkan semua kesempatan yang tersedia, terbentuklah kepribadian yang terpadu untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan.


Foto-foto
Channing Tatum


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Rineka Cipta

Gunarsa, D. 1986. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : PT. BK Gunung Mulia

Hurlock, E. 1980. Psikologi Perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi ke lima. Jakarta : Erlangga

Kartono, K. 1979. Psikhologi Anak. Bandung : Alumni

Monk, dkk. 2002. Psikologi Perkembangan : pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Zulkifli, L.. 1992. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya